Pergelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta telah usai pada 19 April yang lalu. Walaupun saat ini penulis sedang berada jauh dari tanah air, namun banyak cerita menarik dan penuh intrik seputar dunia pemerintahan dan politik di tanah air yang terlalu sayang untuk dilewatkan. Banyak hikmah dan pelajaran hidup yang bisa diambil, baik dari kisah (stories) maupun sosok (figures) yang inspiratif. Momen hari lahirnya Pancasila ini mengingatkan kita bahwa keberagaman adalah takdir Indonesia; Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Tulisan ini merupakan perspektif pribadi penulis tentang dunia pemerintahan dan politik di Indonesia saat ini dan tidak dimaksudkan untuk mewakili ideologi institusi atau lembaga manapun.
Sebelum bergerak lebih jauh, penulis ingin membedakan antara pemerintahan dan politik. Pemerintahan adalah sarana Tuhan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Oleh karenanya, pemerintah harus bersih, jujur, adil, tegas, dan profesional dalam melayani rakyatnya. Sedangkan politik adalah tentang perebutan kekuasaan, yaitu bagaimana mencapai posisi tertinggi agar dapat mengendalikan rakyat, menguasai sumber daya alam, dan fokusnya adalah melayani kepentingan pribadi atau golongan. Tidak heran banyak orang menyebut politik itu kotor. Dan politik ini tidak hanya ada dalam pemerintahan, tapi juga bisa masuk ke dalam bidang atau institusi lainnya, seperti pendidikan, olahraga, agama, dll. bahkan hingga ke institusi terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga. Bukankah sering terjadi perebutan kekuasaan atau harta warisan dalam keluarga? Itulah politik. Jadi menurut penulis, pemerintahan dan politik adalah dua hal yang perlu dibedakan, demikian juga pemerintah dan politisi.
Sedikitnya, ada tiga hikmah yang bisa kita pelajari bersama dari berbagai peristiwa yang terjadi, baik sebelum, selama, maupun sesudah pergelaran Pilkada DKI 2017, dari kacamata penulis:
Belajar dari kulit yang terluka
Orang yang pernah mengalami luka di kulit (karena tergores, misalnya) pasti tahu betapa repot mengobatinya. Ketika remaja, saya suka bermain sepak bola di jalan depan rumah bersama teman, dengan kaki telanjang. Suatu kali saya melakukan kecerobohan yang membuat telapak dan kuku jempol kaki saya terluka cukup parah. Setelah beberapa hari, luka di telapak kaki saya bernanah sehingga menyebabkan saya harus berjuang keras untuk bisa berjalan kaki dengan normal; memakai sepatu pun tidak nyaman. Di saat itu, saya cukup sering mengkonsumsi makanan atau minuman manis, sehingga perlu waktu yang cukup lama untuk luka (borok) tersebut mengering dan sembuh. Ketika ditetesi obat, rasa perihnya sungguh luar biasa, membuat saya berteriak kesakitan. Pernah punya pengalaman yang sama?
Bangsa Indonesia saat ini sedang terluka; ada luka lama, ada luka baru. Permasalahan SARA (suku, ras, dan agama) dan primordialisme (sikap memegang teguh keyakinan yang dibawa sejak lahir) adalah luka lama yang sudah dibiarkan bertahun-tahun sehingga sepertinya sekarang ini sudah menjadi borok yang baunya amat menjijikkan. Luka-luka lainnya adalah permasalahan korupsi dan kemunafikan yang menjerat para penguasa di negeri ini. Menurut saya, sebagian besar luka ini dipicu oleh kecerobohan manusia, yang terus ‘memelihara’ sikap iri hati, dengki, pikiran negatif, nafsu harta duniawi, kekuatiran, dan kesombongan. Disadari atau tidak, orang yang terluka biasanya akan cenderung melukai orang lain (hurting people hurt people) karena mereka tidak ingin sendirian. Akibatnya, siklus jahat ini terus berulang dari generasi ke generasi. Pertanyaannya, kapan kita mau sembuh?
Sesungguhnya Tuhan telah mengirimkan obat-nya, yaitu pemimpin-pemimpin yang bersih hati nurani-nya dan menginginkan kemajuan nyata bagi bangsa ini. Mereka tegas melawan borok korupsi dan kemunafikan yang sudah bertahun-tahun tak kunjung sembuh. Namun apa hasilnya? Sebagian besar orang tak terima dan berteriak kesakitan ketika obat tersebut diteteskan pada luka mereka. Rasa ‘nyaman’ mereka terganggu, seolah-olah mereka tak ingin sembuh dan bahkan ingin menutupi atau menyembunyikan borok-borok tersebut. Mereka hanya ingin terus makan dan minum yang manis-manis, yaitu kenikmatan harta duniawi, yang pada akhirnya justru akan mengakibatkan diabetes dan impotensi dalam diri mereka. Mereka tak sadar dan tak mau tahu bahwa pemimpin-pemimpin yang bersih adalah obat yang menyembuhkan, sekalipun awalnya menyakitkan bagi mereka. Sungguh ironis jika akhirnya obat-obat penyembuh luka itu malahan disingkirkan dan dicampakkan. Pertanyaannya sekarang, benarkah kita ingin sembuh? Apakah kalian rela jika kita menjadi bangsa yang berpenyakitan dan tak punya potensi, daya saing di hadapan bangsa-bangsa lain?
Roh agamawi yang membunuh nurani
Di antara semua borok, menurut saya ada satu borok yang patut diwaspadai oleh bangsa ini, yaitu roh agamawi. Ia seperti sel kanker yang sedang menggerogoti sel-sel sehat yang lain, menularkan virus penyakit yang sangat berbahaya dan mematikan. Sama seperti virus yang tak kasat mata, roh agamawi ini pun tak kelihatan, namun bekerja sangat aktif, terutama dalam alam pikiran manusia. Pikiran-pikiran yang menganggur atau bermalas-malasan (idle) sering menjadi korbannya. Jika virus ini diberi tempat dalam waktu yang lama, maka ia tidak hanya menyerang pikiran, tapi juga akan mematikan hati nurani. Sel kanker ‘roh agamawi’ ini akan memakan habis sel-sel ‘rasional’ yang ada dalam hati dan pikiran manusia. Lalu apa yang saya maksudkan dengan roh agamawi ini? Di dalamnya adalah paham legalisme, yang dapat diartikan sebagai: “suatu sikap pembenaran diri sendiri dengan menaati peraturan-peraturan (agama) buatan manusia”…
Ada yang bilang bahwa agama berasal dari Tuhan, diwahyukan dari langit. Jika demikian halnya, maka sedikitnya ada dua pertanyaan besar: (1) Apakah semua agama yang berbeda-beda diturunkan oleh Tuhan yang berbeda-beda? (2) Apakah Tuhan ‘sengaja’ menurunkan agama untuk memecah-belah manusia ciptaanNya? Bukankah sejarah telah membuktikan bahwa agama justru membawa pemisahan dan, karenanya, bukanlah alat pemersatu? Bukankah Tuhan sendiri adalah Pencipta segala makhluk, yang artinya memiliki inklusivitas tak terbatas? Lagipula, bukankah orang-orang justu menjadi sombong dan munafik karena beragama? Karena itulah, saya sepenuhnya yakin bahwa agama adalah buatan manusia. Ia dilahirkan oleh pikiran (atau budi pekerti) manusia, dihasilkan dari interpretasi (penafsiran) manusia, yaitu tentang aturan-aturan hidup di dunia, yang mengatur hubungan antara manusia dengan Pencipta, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam sekitarnya. Agama adalah cara manusia menafsirkan dan memahami perintah Tuhan dan laranganNya. Memang, semua perintah dan larangan Tuhan tujuannya baik, namun ketika sudah sampai pada interpretasi manusia, maka penyimpangan-penyimpangan bisa (dan telah) terjadi, terutama jika sudah berkaitan dengan kepentingan pribadi atau kekuasaan. Maka orang-orang mulai menggunakan nama Tuhan demi meraih harta, tahta, dan cinta duniawi. Ini semua berawal dari… roh agamawi! Hal ini membuktikan bahwa semua agama telah rusak (corrupted) akibat dosa manusia (human error). Oleh karenanya, agama tidak akan pernah mampu menyelamatkan manusia. Keselamatan hanya berasal dari Tuhan Sang Juruselamat.
Selain mendorong pembenaran diri sendiri, roh agamawi juga bisa menyebabkan orang-orang menjadi sesuatu yang saya sebut sebagai “religious impotent”, yaitu orang-orang yang mengetahui kebenaran, tapi tidak melakukannya. Mereka senang memakai atribut-atribut agamawi, seperti misalnya kalung salib, sorban, jubah, kerudung, dsb. agar orang lain menyangka bahwa mereka ini adalah orang-orang yang religius, alim, berakhlak, bermoral, dan dekat dengan Tuhan. Kaum religius ini (para ahli kitab suci dan pemuka agama) sering terjebak pada kebenaran yang mereka buat sendiri, akibatnya mereka sering merasa paling benar dan bersikap judgmental terhadap orang lain, terutama kaum yang lemah (minoritas). Mereka (mungkin) merasa bahwa posisi mereka lebih tinggi dibanding masyarakat awam (yang tak tahu-menahu soal urusan agama dan lebih memikirkan perkara sehari-hari). Yang menyedihkan lagi, mereka menganggap bahwa segala jerih payah dan amal kebaikan mereka akan bisa mendatangkan keselamatan bagi mereka (di dunia dan akhirat), sehingga dengan begitu, mereka menolak anugerah Tuhan. Mereka (mungkin) meyakini bahwa jika mereka selamat, itu karena mereka baik; padahal yang seharusnya adalah karena Tuhan yang baik! Karena itu, mereka sering terjangkiti oleh rasa cemburu yang luar biasa, terutama ketika melihat orang-orang yang tak beragama meraih kesuksesan dan kenikmatan hidup di dunia. Mungkin mereka berpikir, “Bagaimana mungkin orang-orang kafir ini punya mobil dan rumah yang lebih indah dan keluarga yang lebih bahagia daripada yang aku miliki; padahal aku lebih rajin beramal, beribadah, dan berbakti pada Tuhan dibandingkan mereka!” Akhirnya… mereka mulai berkompromi, mereka mulai menggunakan jubah-jubah religius dan mimbar-mimbar peribadatan untuk mengumpulkan kekayaan duniawi, hati mereka mulai bergeser dari cinta Tuhan ke cinta uang, dan… mereka pun terjebak dalam kesalehan palsu! Tak heran, kaum religius semacam ini akhirnya sering dimanfaatkan sebagai ‘alat’ atau ‘kendaraan’ untuk mencapai ambisi politik oleh para penguasa yang zalim. Jadi, jangan heran ketika melihat orang-orang yang tak beragama, bahkan atheist, justru berkelakuan lebih baik dan lebih bermoral daripada orang-orang yang (mengaku) beragama.
Jadi sekarang, pilihannya hanya ada dua, yaitu: Tuhan atau uang. Jika kita sungguh-sungguh mencintai Tuhan, maka dalam hidup ini kita akan mempercayaiNya. Kita percaya bahwa pemeliharaanNya sempurna, sehingga kita tak akan kekurangan sesuatu apapun. Kita akan menjalani hidup dengan lebih tenang, damai, sukacita, penuh pengharapan, dan berserah penuh pada Sang Pemilik hidup. Kita tidak perlu hidup dalam kekuatiran, karena Tuhan pasti memenuhi segala kebutuhan kita. Sebaliknya, jika kita mencintai uang, maka dalam hidup ini kita tidak akan pernah tenang, sering kuatir dan gelisah, tak akan pernah terpuaskan, dan akan selalu cemburu, iri hati melihat kesuksesan orang lain. Jerat roh cinta uang ini akan menghancurkan hati nurani kita, membuat kita hidup mengandalkan kekuatan diri sendiri dan berusaha mencapai kesuksesan melalui jerih payah dan kerja keras yang tak ada habisnya. Jadi jelas, roh cinta uang punya hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan roh agamawi! Lalu, jika demikian, apakah kita tidak boleh beragama? Jawaban saya: jadilah orang yang rohani, bukan religius, karena being spiritual is not equal to being religious. Orang-orang yang rohani memikirkan perkara-perkara rohani, yaitu hal-hal yang tidak kelihatan, sedangkan orang-orang yang religius (cenderung) memikirkan perkara-perkara agamawi demi mencapai hal-hal yang kelihatan, yaitu perkara-perkara duniawi.
Pemimpin yang melayani dan dicintai rakyatnya
Nasib sebuah bangsa sangat tergantung pada sistem pemerintahannya. Mengapa negara seperti Korea Selatan dan Korea Utara, walaupun ada di tanah yang sama, memiliki nasib yang berbeda drastis? Alasan utama: karena perbedaan sistem pemerintahan. (Silakan googling untuk informasi lebih lanjut karena ini di luar lingkup pembahasan saya sekarang). Sederhananya begini: jika negara diibaratkan manusia, maka pemerintah adalah bagian otak (kepala) nya. Kalau otaknya rusak, seluruh sistem saraf dan kerja anggota tubuh yang lain akan terganggu. Sebaliknya, jika otak sehat, maka tubuh akan berfungsi optimal.
Agar menjadi bangsa yang maju, adil, sejahtera, dan berpengaruh di dunia internasional, Indonesia harus sembuh dari “luka borok di kulit” serta “belenggu roh agamawi” yang sudah bertahun-tahun dibiarkan. Obat terbaik yang dapat membawa kesembuhan bagi dua penyakit ini sebenarnya sudah ada sekarang, yaitu para pemimpin yang bersih, transparan, dan profesional. Mereka adalah pemimpin pelayan (servant leader), yang tulus mengabdikan hidup untuk melayani, bukan untuk dilayani atau memanfaatkan jabatan untuk kesenangan pribadi. Mereka tidak takut bahaya, bahkan tidak takut mati dalam menjalankan tugas pengabdiannya, karena mereka siap berkorban jiwa raga. Bagi mereka, mengalami kematian di saat menjalankan amanah Tuhan adalah sebuah kehormatan. Dan benar, mereka adalah orang-orang yang sudah ‘mati’ bagi diri mereka sendiri; mereka sudah selesai dengan dirinya sendiri, tidak ada hasrat untuk mengejar ambisi pribadi, yaitu kekuasaan duniawi. Mereka percaya bahwa hidup mati ada di tangan Tuhan, yang berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali; sama seperti halnya mereka percaya bahwa jabatan, promosi, atau kekuasaan adalah berasal dari Tuhan. Dengan konsep iman seperti ini, tidak heran bila mereka bisa menjalankan tugas pemerintahan dengan tanpa beban, penuh energi dan tak kenal lelah. Cita-cita mereka adalah menegakkan kebenaran serta mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Pertanyaannya sekarang, kapan pemimpin-pemimpin semacam ini diberikan kesempatan? Tenang, harapan masih ada (bila kita terus berjuang dan percaya)…
Vancouver, 1 Juni 2017