Yesus Kristus adalah tokoh paling kontroversial sepanjang masa. Mengapa kontroversial (menjadi bahan perdebatan)? Karena Ia-lah satu-satunya manusia yang mengklaim diriNya (berasal dari) Allah, satu-satunya yang pernah mati disalib dan bangkit dari kematian. Banyak yang meragukan kematian dan kebangkitanNya, namun tidak sedikit pula pengikutNya yang rela menyerahkan nyawa demi Dia yang mereka cintai.
Meski demikian, klaim Yesus sebagai Tuhan atau Allah tidak dapat dibatalkan atau ditarik kembali. Lalu, argumen mana yang sesungguhnya benar? Karena tidak mungkin ada sebuah kebenaran yang menyatakan dua kesaksian yang berbeda atau bertolak-belakang, maka di sinilah tugas sekaligus kesempatan bagi manusia untuk mendekat kepada Allah dan menyelidiki kebenaranNya.
Seringkali mudah bagi kita untuk percaya kepada sesuatu hal jika kita telah melihat buktinya. Yang dimaksud ‘melihat’ di sini tentu saja bukan hanya melihat dengan mata, tetapi bisa diartikan juga sebagai menjamah atau merasakan dengan indera (sense) sendiri. Sayangnya, Yesus hidup lebih dari 2000 tahun yang lalu, sehingga tidak ada orang yang telah melihat dan menjamah-Nya secara langsung di zaman ini. Jadi cara kita untuk percaya adalah bukan dengan menggunakan indera jasmani, melainkan indera rohani yaitu hati (conscience). Sama seperti kita percaya bahwa oksigen atau elektron itu ada walau kita tidak pernah melihat dan memegangnya. Sama seperti kita percaya bahwa kita telah dilahirkan dari rahim ibu kita walau kita tidak pernah melihat dan menyadarinya. Sama seperti kita percaya bahwa alam semesta ini telah diciptakan oleh jari Tuhan walau kita sendiri tidak pernah menyaksikan langsung proses penciptaannya.
Jadi, kepercayaan kepada Yesus (ataupun kepada allah lain) pada dasarnya adalah berlandaskan iman (faith), yaitu kepercayaan yang berasal dari hati walau belum melihat bukti-bukti yang nyata. Namun, iman yang benar bukanlah iman yang buta dan bodoh. Sebagai manusia yang dikaruniai hikmat dan rasionalitas, kita harus dapat mempertanggungjawabkan dasar iman kita, berdasarkan pengalaman pribadi (personal experience) dari perjalanan manusia rohani kita (spiritual journey), baik melalui pembelajaran, perenungan, atau perjumpaan denganNya. Karena itu, iman bahwa Yesus adalah Tuhan juga harus dapat dipertanggungjawabkan secara rasional (meskipun tidak semua orang lantas akan menerima sesuatu yang rasional sebagai keyakinan pribadinya, karena ada juga yang tetap mengeraskan hati sekalipun telah menerima penjelasan yang sangat rasional).
Secara rasional, ada tiga tanggapan yang mungkin muncul atas klaim Yesus sebagai Tuhan:
1. Yesus adalah orang gila.
Kalau di zaman sekarang ada orang yang mengaku dirinya sebagai Allah, pastilah akan dianggap orang gila. Yesus hidup di suatu zaman dan tempat suci (Yerusalem) yang penduduknya percaya bahwa Allah adalah esa. Jadi klaim Yesus sebagai Allah saat itu sangat mungkin juga dianggap sebagai sebuah statement orang sakit jiwa. Namun, jika benar Yesus adalah orang gila, maka lebih gila lagi para pengikutNya yang rela mati demi Dia. Tak hanya itu, Bible yang merupakan buku terlaris sepanjang sejarah, ternyata hanya menceritakan tentang kehidupan orang gila. Dalam sejarah, tidak ada bukti yang menyatakan bahwa Yesus mengidap gangguan jiwa. Mana ada orang gila yang menyembuhkan orang buta, tuli, dan lumpuh? Mana ada orang gila yang dianggap sebagai sebuah ancaman bagi para pemuka agama dan kaum religius saat itu? Mana ada orang gila yang pengaruh dan ajarannya masih terus dikenang dan diamalkan hingga saat ini? Tanggapan pertama gugur.
2. Yesus adalah nabi palsu (sesat).
Jika tidak gila, masih ada kemungkinan Yesus adalah penyebar ajaran sesat. Dia mengklaim dirinya Allah agar orang-orang takut, segan, dan respek kepadaNya. Barangkali Yesus hanyalah seorang manusia biasa yang gila hormat dan haus kekuasaan. Atas tanggapan ini, sederhana saja jawabannya: Mungkinkah seorang nabi palsu menyebarkan ajaran yang penuh cinta kasih dan perdamaian? Ibarat sebuah bangkai yang ditutup, cepat atau lambat akan ketahuan dari baunya. Jika Yesus adalah nabi palsu, maka dapat dipastikan bahwa ajaranNya tidak akan bertahan hingga saat ini dan banyak pengikutNya yang sudah sejak lama berpaling kepada keyakinan yang lain. Faktanya: ajaran Yesus terus bertahan menghadapi ujian waktu dan tantangan dari sejarah peradaban manusia serta masih sangat relevan untuk diterapkan pada kehidupan zaman sekarang, sesuai dengan klaimNya sendiri: “Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu.” (Matius 24:35). Selain itu, fakta bahwa pengikutNya tersebar di berbagai negara di muka bumi ini dan masih dengan giat memberitakan Injil ke bangsa-bangsa lain merupakan sebuah realita yang tak terbantahkan. Tanggapan kedua gugur.
3. Yesus adalah kebenaran.
Jika Yesus tidak mungkin gila atau sesat, maka kemungkinan yang ketiga adalah: Yesus benar. Hal ini sesuai dengan klaim Yesus sendiri: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa (Allah), kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes 14:6). Bukti-bukti sejarah mengenai kematian dan kebangkitan Yesus telah dipelajari oleh para cendekiawan dan mereka sampai pada kesimpulan bahwa Yesus benar-benar telah mati dan bangkit (Dr. Nabeel Qureshi), walau memang masih banyak black campaign di zaman itu yang masih dipercaya hingga sekarang, yang menyatakan bahwa mayat Yesus dicuri murid-muridNya atau Yesus tidak disalib karena telah diangkat oleh Allah. Menurut saya, perdebatan semacam ini tidak akan pernah selesai. Pada akhirnya, saya percaya bahwa Allah bukanlah suatu objek untuk dipelajari, melainkan untuk dialami secara pribadi.
Berikut adalah fakta (bukan rekayasa) tentang pengalaman orang-orang yang hidupnya diubahkan karena telah mengalami perjumpaan secara pribadi dengan Yesus:
Pingback: Katakan Tidak pada Iri Hati dan Egoisme! | Pearls of Mind
Pingback: Happy Ascension Day of Jesus Christ! | Pearls of Mind
Pingback: The Parallel Divinity of Jesus Christ and Jehovah God – Pearls of Mind