Di Balik Kata “Terima Kasih, Puji Tuhan”

Nowela Elizabeth Mikhelia Auparay, akhirnya resmi menjadi juara Indonesian Idol 2014. Menyimak perjalanannya dari awal babak audisi, spektakuler, hingga grand final, ada satu hal yang menarik dari Nowela. Tidak pernah ada satu pun babak yang ia lewatkan tanpa mengucapkan “Terima kasih, puji Tuhan”. Bagi saya inilah hal ‘kecil’ yang merupakan kunci besar bagi kesuksesan Nowela, karena ia menyadari bahwa sebagai penyanyi (penghibur) akan banyak sekali pujian yang ia terima yang bisa membuatnya terlena dan lupa diri. Namun ia selalu ingatkan diri sendiri bahwa segala yang telah diraihnya bukan karena kehebatan dan kemampuannya, melainkan hanya karena anugerah dari Tuhan semata. That’s why ketika Nowela dipuji, ia selalu mengembalikan pujian tersebut untuk DIA Satu-satunya yang layak terima segala pujian, kehormatan, dan kemuliaan.

Sebagai seorang pemerhati dan penikmat musik yang juga berkecimpung dalam dunia tarik suara, saya sadar benar bahwa dunia hiburan (entertainment) penuh dengan ‘tantangan batin’ bagi setiap insan yang berkiprah di dalamnya. Gemerlapnya panggung yang membuat semua mata tertuju kepada sang idola serta meriahnya sorak sorai dan tepuk tangan para penggemar yang mengelu-elukan sang jagoan, di satu sisi telah menjadi energi yang luar biasa bagi mereka untuk menyuguhkan penampilan yang terbaik. Namun, di sisi lain semua pujian dan pengagungan tersebut juga menghadirkan ‘tantangan batin’ yang berpotensi mengubah segala energi konstruktif yang telah mereka dapatkan menjadi energi destruktif yang berujung pada kesombongan yang meruntuhkan, sehingga respon sikap batin seorang entertainer dalam menerima pujian dari orang-orang yang mencintai dan mengaguminya bukan sebuah hal yang bisa dianggap remeh.

Banyak orang (termasuk saya sendiri) terkadang bingung ketika menerima pujian. Teristimewa orang-orang timur (Asia) yang sangat terkenal dengan budaya sopan dan malu-malu. Di Korea, ketika mendapatkan pujian, orang-orang kebanyakan akan menjawab: “아니에요 (anieyo) atau 아닙니다 (animnida)” yang kurang lebih artinya “Tidak… bukan karena (andil) saya”. Di Cina, dalam contoh dialog atau percakapan yang ada di buku belajar bahasa Mandarin, ketika seseorang menerima pujian atau ucapan terima kasih, ia akan menjawab: “ (xiè) atau  (méiguānxi)” yang jika diterjemahkan dalam bahasa Inggris berarti “Not at all, don’t mention it, atau it doesn’t matter”. Jujur saja, siapa sih orang yang tidak senang ketika dipuji, dihargai, atau disanjung. Pujian atau ucapan terima kasih kan berarti apresiasi terhadap apa yang telah kita kerjakan. Namun terkadang kita bingung bagaimana harus menjawab ketika orang lain mengirimkan pujian atau rasa terima kasih (mungkin karena kadangkala ada apresiasi yang tidak tulus) sehingga seringkali kita lebih memilih untuk diam dan tidak membalas. Barangkali orang-orang barat lebih ‘polos’ dalam menerima pujian karena mereka kebanyakan akan menjawab: “Thanks” atau “You’re welcome” padahal pujian yang diberikan terkadang hanya basa-basi. Kasian juga yah 😛 Lalu bagaimana dengan gaya orang Indonesia? Ketika dipuji, kebanyakan mereka akan merespon “Terima kasih” dan ketika diberi ucapan terima kasih mereka akan menjawab “Sama-sama” atau “Kembali kasih”. Menurut saya ini respon yang sudah bagus dan elegan. Hanya saja jika terlalu sering diucapkan, ucapan “Terima kasih” ini bisa menjadi klise dan kehilangan makna terdalamnya. Ada orang yang terlalu sering bilang “Terima kasih”, dibantu sedikit saja langsung bilang “Terima kasih” sampai-sampai membuat sungkan orang yang diberi ucapan “Terima kasih” karena terkesan terlalu sopan dan tidak real sehingga terkadang membuat hubungan seolah-olah berjarak dan tidak akrab.

Saya pernah dengar bahwa di Cina, terasa agak aneh jika seorang anak kecil berkata “Terima kasih” kepada orangtua-nya. Seolah-olah mengesankan bahwa apa yang dikerjakan oleh si orangtua ‘cukup pantas’ hanya diberi ucapan “Terima kasih”, padahal sang orangtua sudah begitu berjasa melahirkan, merawat, dan membesarkan si anak, jadi “Terima kasih” terdengar sangat gampang dan murahan untuk diucapkan. Lalu bagaimana si anak harus berterima kasih pada orangtuanya? Dengan menjadi anak yang rajin, taat, dan berbakti pada orangtuanya lewat tindakan yang nyata (bukan ucapan belaka) sudah cukup untuk menunjukkan rasa terima kasih yang dalam bagi si orangtua.

So, menurut saya, respon terbaik ketika kita menerima pujian adalah seperti yang sering diucapkan oleh Nowela: “Terima kasih, puji Tuhan”. “Terima kasih” berarti bahwa kita menghargai manusia (si pemberi pujian) dan “Puji Tuhan” berarti bahwa kita tidak lupa untuk mengembalikan segala pujian kepada DIA Satu-satunya (yang memang layak untuk menerimanya) yang telah menganugerahkan berkatNya bagi kita. Namun yang paling penting dari semuanya adalah sikap hati kita yang harus tulus dan serius saat mengucapkannya. Jika tidak tulus dan serius, maka “Terima kasih” yang kita ucapkan hanya terdengar sebagai basa-basi dan “Puji Tuhan” yang kita ucapkan akan terkesan sok rohani.

Terima kasih Nowela, puji Tuhan, atas inspirasi yang telah kau berikan bagi penikmat dan pelaku musik di tanah air. Sukses selalu dan tetap rendah hati, Tuhan Yesus memberkati.

Advertisement

One thought on “Di Balik Kata “Terima Kasih, Puji Tuhan”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s