Kerajaan atau Keluarga?

Ada dua lembaga di dunia ini yang mencerminkan pola hubungan dalam masyarakat sehari-hari. Kedua lembaga tersebut sekaligus menjadi lembaga terbesar, yaitu kerajaan dan terkecil, yaitu keluarga. Tanpa kita sadari, setiap hari kita memainkan kedua pola tersebut ketika sedang berinteraksi dengan orang lain, baik secara individu maupun kelompok. Pola hubungan kerajaan ditandai dengan adanya peraturan dan hierarki (perbedaan tingkat/level) yang berakibat pada sikap hormat, segan, dan takut. Sementara pola hubungan keluarga ditandai dengan adanya aturan dan hierarki yang lebih sederhana sehingga memberikan perasaan intim, nyaman, dan apa adanya.

Masih ingat? Ketika kita menjadi murid di sekolah, kedua pola ini setiap hari kita mainkan. Saat berinteraksi dengan guru atau kepala sekolah, kita sedang memainkan pola kerajaan, di mana ada rasa hormat, sungkan, dan takut. Kita tidak bisa bebas menampilkan diri sendiri yang asli, seringkali harus ‘terpaksa’ bersikap sopan di hadapan mereka: mengucapkan salam, terima kasih, dan maaf jika telah melakukan kesalahan. Namun, saat berinteraksi dengan teman atau sahabat, kita sedang memainkan pola keluarga, di mana kita bisa menjadi diri sendiri apa adanya tanpa ada rasa sungkan dan takut, bahkan terkadang jika sudah sangat dekat, kita bisa sedikit ‘kurang ajar’, misalnya dengan melemparkan guyonan untuk mencairkan suasana.

Faktanya, tidak hanya dengan orang yang berkedudukan lebih tinggi kita sering memainkan pola kerajaan, tetapi juga dengan orang yang baru pertama kali kita kenal. Terkadang kita merasa canggung, sungkan, dan tidak tahu bagaimana harus bersikap. Tentunya kita tidak ingin jadi sok akrab juga bukan? Namun, seiring semakin dekatnya hubungan kita dengan seseorang, kita akan mulai bersikap wajar apa adanya, sudah saling paham kebaikan dan keburukan masing-masing, tidak ada yang perlu ditutup-tutupi karena kesadaran bahwa kita sudah seperti keluarga, yang saling menerima kelebihan dan kekurangan satu sama lain.

Pola hubungan kerajaan akan menyebabkan jarak, artinya ada pihak yang seolah-olah lebih tinggi dan yang lainnya seolah-olah lebih rendah, sedangkan pola hubungan keluarga akan meminimalkan atau bahkan menghilangkan jarak; tidak ada boss dan slave. Hanya saja, di dalam pola kerajaan ada peraturan yang tegas sehingga hukuman diberikan kepada para pelanggar aturan, sedangkan pola keluarga cenderung lebih toleran terhadap orang yang berbuat kesalahan sehingga penegakan hukum seringkali kurang nyata. Dalam kerajaan ada keadilan, namun dalam keluarga ada kehangatan kasih. Mana yang lebih kita perlukan? Keduanya sama-sama kita perlukan.

Saya bersyukur di dalam Yesus ada keadilan dan kasih. Dia tidak hanya menjadi Raja yang adil dalam hidup saya, tetapi juga menjadi Bapa yang penuh kasih. Dia tak segan menghajar anak-anak-Nya ketika berbuat salah, namun Dia pula yang akan membalut serta menyembuhkan luka-luka kita. Dalam Yesus, kita adalah anak Raja. Kita telah diterima menjadi anggota keluarga kerajaan-Nya. Jadi, marilah kita hidup dengan mental anak Raja yang tahu kapan harus berbuat adil dan kapan harus berbuat kasih, berani karena benar sehingga tidak takut pada hukuman (karena kita bukanlah orang-orang terhukum, yang dipenuhi ketakutan dan intimidasi) karena Yesus, Bapa dan Raja kita telah mempraktekkan kasih dan keadilan-Nya, dengan mati di kayu salib untuk menebus kita dari segala dosa yang mengikat dan menuduh kita.

Ilustrasi:

Alkisah dua orang belajar di sekolah yang sama dan kemudian menjadi sahabat akrab satu sama lain. Seiring berjalannya waktu, mereka berdua akhirnya berpisah dan bertumbuh di jalan yang berbeda, yang satu akhirnya menjadi seorang hakim, sedangkan yang lainnya menjadi seorang kriminal. Suatu hari, si kriminal muncul di hadapan sang hakim setelah tertangkap akibat perbuatan jahatnya. Sang hakim menyadari wajah sahabatnya dan menghadapi sebuah dilema: sahabatnya itu telah mengakui kesalahannya namun menurut hukum/undang-undang ia harus menerima denda/hukuman, tetapi sang hakim juga mengasihi si kriminal karena dia adalah sahabatnya. Lalu sang hakim memberikan denda pada si kriminal yang besarnya sesuai dengan hukum yang berlaku: inilah KEADILAN. Kemudian, hakim tersebut turun dari singgasana-nya dan menuliskan sebuah cheque untuk membayar seluruh denda tersebut: inilah KASIH.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s