Beberapa bulan terakhir ini entah mengapa saya merasa malas berinteraksi di dunia maya. Memang tidak bisa dipungkiri keberadaan media sosial elektronik yang semakin bervariasi sekarang ini memberikan banyak kemudahan dan kenyamanan. Jarak dan waktu terasa dipersingkat sehingga orang di belahan bumi utara bisa berkomunikasi dengan orang-orang di belahan bumi selatan hanya dalam hitungan detik. Sungguh luar biasa menakjubkan perkembangan teknologi di zaman ini! Saya pun juga akhirnya bisa mewujudkan mimpi kuliah di luar negeri berkat adanya media sosial tersebut, yang memberi saya berbagai informasi tentang beasiswa luar negeri dan membantu saya berkomunikasi dengan teman-teman yang sudah lebih dulu ada di sini.
Namun, sekali lagi… entah mengapa… rasa jenuh itu akhirnya datang dan membuat saya berpikir… adakah yang ‘salah’ dengan media sosial tersebut? atau mungkin karena saya yang sudah terlalu lama menghabiskan waktu berselancar di dunia maya? atau… ini hanya masalah sementara waktu saja dan wajar terjadi, lama-kelamaan rasa jenuh ini akan hilang dengan sendirinya?
Apapun alasannya, setidaknya dari pengalaman ‘berkiprah’ di beberapa media sosial selama ini, ada beberapa hal yang menjadi pelajaran berharga yang ingin saya sharing-kan dengan teman-teman tentang bahaya (baca: efek samping) dari penggunaan media sosial elektronik dalam waktu yang lama.
1. Pencuri waktu dan produktivitas.
Bisa dikatakan di zaman modern sekarang ini kita tidak bisa terpisah dari yang namanya teknologi informasi dan komunikasi. Setiap hari kita butuh informasi baru dan komunikasi yang dinamis. Mungkin mereka sudah bisa dimasukkan ke daftar kebutuhan primer, selain sandang, pangan, papan. Apalagi dengan adanya teknologi smartphone yang bisa mengakses media sosial dengan cepat, mudah, dan murah, orang-orang pun semakin dimanjakan. Dengan sekali klik, kita bisa memperoleh informasi apapun yang diinginkan. Akibatnya, tanpa disadari kita menjadi ‘terlarut’ di dalamnya. Kapanpun, di manapun, dan dengan siapapun kita saat itu, selalu tidak pernah lupa untuk meng-update status, meng-uplad foto, ataupun memberi comment di status orang lain. Pekerjaan yang seharusnya jadi prioritas utama malah jadi terabaikan. Kita pun jadi sangat mudah mengalami distraction dan kehilangan fokus pada hal-hal yang esensial.
2. Hubungan yang dangkal dan murah.
Keberadaan media sosial elektronik memberi kita kesempatan untuk bisa tahu apa yang sedang terjadi dalam hidup orang lain tanpa kita harus masuk dan mengenal lebih dalam tentang kehidupan orang tersebut. Stalking, demikianlah orang-orang mengenal istilahnya zaman sekarang. Lagi pula jika ada teman yang sedang berulangtahun, kita bisa langsung memberikan ‘perhatian’ dengan hanya meluangkan beberapa detik saja menuliskan “HBD WYATB”. Tak perlu telepon untuk sekedar mendengar suaranya dan tulus mendengarkan kisah hidupnya. Tak perlu menghabiskan waktu, energi, dan uang kita untuk datang ke rumahnya bertatap muka secara langsung, memberi pelukan hangat, dan kado spesial. Selain itu, jika kita telah melakukan kesalahan pada orang lain, kita bisa dengan mudah menyampaikan permohonan maaf melalui e-mail atau message di media sosial tersebut. Tidak perlu datang bertemu langsung dan melakukan pemberesan secara pribadi. Semuanya dianggap “baik-baik saja”. Akibatnya, kemampuan relasi interpersonal menjadi semakin buruk. Orang-orang lebih ‘pandai’ membangun hubungan di dunia maya daripada di dunia nyata. Yang mengherankan, cara mereka bersikap di dunia maya cenderung tidak sama dengan apa yang mereka tunjukkan di dunia nyata. Hubungan pun terasa unreal (palsu), dangkal, dan murahan.
3. Cenderung berfokus pada diri sendiri.
Setiap orang punya kebutuhan tentang eksistensi diri, untuk mengaktualisasikan diri… dan kebutuhan tersebut dijawab dengan sangat tepat oleh media sosial! Orang-orang berlomba menunjukkan tempat-tempat mana saja yang sudah dikunjungi, makanan-makanan apa saja yang sudah pernah disantap, atau aktivitas-aktivitas apa saja yang sudah pernah dikerjakan. Ada yang motivasinya untuk membangun citra, ada juga yang motivasinya untuk mencari perhatian. Namun, ada juga motivasi yang lebih ‘gila’, yaitu untuk menyakiti (atau membuat iri) orang lain. Wow!!! Its’ crazy! But… it’s real, isn’t it? Apapun motivasinya, intinya sama saja: “menyenangkan diri sendiri”. Menurut saya, jika sudah tidak tertahankan lagi, sikap “menyenangkan diri sendiri” ini cepat atau lambat akan segera menuju ke sikap “menyembah diri sendiri” atau “mengidolakan diri sendiri” alias “memberhalakan diri sendiri”. Be careful!
Well, sekali lagi saya tekankan bahwa apa yang saya tulis di sini adalah murni dari pengalaman pribadi, dan tidak ada maksud untuk men-judge pengalaman hidup orang lain.
Ibarat pisau, bisa digunakan untuk memotong daging atau sayur yang hendak dimasak, namun pisau yang sama bisa juga digunakan untuk menghilangkan nyawa seseorang. Demikian pula media sosial elektronik, bisa digunakan untuk tujuan yang positif (konstruktif) atau negatif (destruktif). Semua tergantung pada siapa pemakainya.
Intermezzo: Selain ketiga “efek samping” di atas, sebenarnya ada bahaya-bahaya minor lain yang bisa ditimbulkan akibat terlalu berlebihan berinteraksi di media sosial, yaitu: sakit mata, sakit punggung, sakit leher, jantung, diabetes, dan lain-lain. So, waspadalah! 😀
