Pernah bertemu dengan orang yang punya banyak keahlian? Misalnya, selain pandai di bidang matematika, dia juga mahir memainkan piano. Tak hanya itu, ternyata dia juga jago memasak!
Mungkin banyak dari kita pernah berjumpa atau bahkan berteman dengan orang-orang multi-talented seperti itu. Perasaan kita pun bermacam-macam ketika menyaksikan ‘kehebatan’ mereka. Ada rasa kagum atau heran, ada rasa bangga sebagai temannya, namun ada juga yang merasa kecil hati, minder, dan bahkan terobsesi ingin bisa seperti mereka.
Well, saya percaya setiap orang dianugerahi Tuhan minimal sebuah keahlian. Tidak mungkin ada orang di dunia ini yang lahir tanpa ‘mengemban’ suatu karunia, karena pada dasarnya manusia adalah karya ciptaanNya yang mulia dan representasi dari Sang Pencipta. Selain itu, manusia diciptakan bukan tanpa tujuan. So, untuk memenuhi tujuan hidupnya, manusia dibekali dengan keahlian, yaitu kemampuan atau sumber daya untuk mencapai tujuan tersebut.
Masalahnya, tidak semua orang memahami tujuan hidupnya. Jangankan tujuan hidup, bahkan keahlian pun banyak orang yang masih tidak tahu. Kalo tahu saja tidak, bagaimana bisa memaksimalkannya? Pencarian tujuan hidup dialami oleh semua orang. Demikian juga dengan pencarian keahlian (istilah zaman sekarang: minat dan bakat). Semua pencarian ini ibarat pencarian jati diri. Tidak hanya orang-orang yang punya satu talenta, tapi bahkan orang-orang dengan segudang talenta pun juga mengalami pencarian ini. Keberhasilan kita menemukan dan mengembangkan talenta akan sangat menentukan identitas kita: siapa diri kita sejatinya dan bagaimana orang-orang mengenal kita.
Menurut saya, tidak ada bedanya seseorang dilahirkan dengan satu keahlian atau sejuta keahlian. Semuanya sama-sama harus mencari dan menemukan identitas diri dan tujuan hidupnya. Dalam hal ini, menurut saya, orang-orang dengan ‘sedikit’ talenta lebih beruntung. Mengapa? Karena mereka tidak perlu bingung mencari talenta mana yang harus diutamakan untuk dimaksimalkan. Misalnya, seseorang dilahirkan ‘hanya’ dengan kemampuan bermain sepakbola. Dia tidak perlu pusing, bingung, ataupun galau, karena tujuan hidupnya sudah jelas: menjadi atlet sepakbola profesional! Lain halnya dengan orang yang dibekali banyak talenta, seperti contoh di atas. Dia akan mengalami satu masa dalam hidupnya ketika dia harus memutuskan talenta mana yang menjadi prioritas untuk dikembangkan: apakah menjadi ilmuwan atau musikus atau chef?



So, bagi saya tidak ada alasan untuk cemburu, atau membanding-bandingkan diri dengan orang lain saat melihat mereka kelihatannya ‘serbabisa’. Setiap kita diciptakan unik, tidak ada duanya, dan punya ‘daerah kerja’-nya masing-masing. Yang perlu kita lakukan adalah mengurusi talenta kita sendiri. Talenta kita adalah tanggungjawab kita. Lakukan yang terbaik sesuai dengan keahlian kita, asah terus kemampuan kita, dan kemudian bandingkan hasilnya dengan diri kita sendiri dengan bertanya: “sejauh mana pencapaian kita?”, “apakah sudah lebih baik dari kemarin?”, “apakah sudah melampaui pencapaian terbaik yang pernah kita lakukan?”
Hanya punya satu talenta? Bersyukurlah, jangan kecil hati, dan maksimalkan itu. Diberi banyak talenta? Bersyukurlah, jangan sombong, dan maksimalkan itu. Apapun keadaan kita saat ini, bersyukurlah! Dan kerjakan semua hal yang bisa kita kerjakan dengan sungguh-sungguh, sebagai tanda rasa syukur dan hormat kita kepada Dia yang telah mempercayakan segala keahlian itu pada kita.
“Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, akan banyak dituntut dari dirinya, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, akan lebih banyak lagi dituntut dari dirinya.”
– Isa Almasih
Thank you..